Tiga orang kakek tengah
menceritakan prestasi anaknya. Kakek pertama bercerita, “Dulu anakku
paling tidak pintar di sekolah. Raportnya banyak nilai merah. Tapi
sekarang setelah dewasa ia menjadi kapolda.”
Kakek kedua tidak mau kalah, “Dulu anakku paling lemah fisiknya. Sering sakit-sakitan. Tapi sekarang setelah dewasa ia menjadi kapolri.”
Kakek ketiga pun juga tidak mau kalah. Sembari menyungging senyum, menyepelekan prestasi dari kedua anak kakek tadi, ia bercerita. “Anakku dulu memang bandel. Suka mencuri mangga, menjahili anak perempuan, dan berkelahi. Tapi sekarang sudah 15 tahun menjadi buron, tidak ada satu pun polisi yang mampu menangkapnya.”
He-he-he… sudah dulu aah ketawanya. Yah, gara-gara cerita di atas saya harus berkaca lagi nih sama cita-cita saya.
Setidaknya sudah dua kali saya merevisi peta hidup. Pertama, pada pertengahan 2008, saat saya masih imut-imutnya mejadi mahasiswa he-he-he. Kedua, awal 2010 setelah saya dipaksa-paksa oleh Ari Hadipurnama (teman terganteng saya) ikutan motivation discussion di pondok keajaiban. Banyak juga yang saya revisi, mengingat ada beberapa yang tidak relevan dengan kondisi saya kala itu.
Alhamdulillah, dari sekian rancangan mimpi ada beberapa yang terwujud. Seperti memiliki motor sendiri (pssst, padahal dibeliin sama ortu loh) tulisan dimuat di media massa, dan hafal beberapa surat. Tapi ada satu rancangan mimpi yang membuat kedua alis saya beradu, dan sudah dua kali saya revisi, sampai saat ini belum juga saya gerakkan. Apalagi deadline-nya tahun ini, yaitu punya rumah, menikah, dan punya kendaraan roda empat.
Namun, tiba-tiba ada sebuah pertanyaan yang entah dari mana membuat saya pusing tujuh keliling, “Setelah itu semuanya Anda miliki, lantas selanjutnya Anda mau apa?”
“Apakah ketika Anda membeli mobil mewah yang, memang diduduki segelintir orang, tapi nyatanya pengguna mobil termewah itu, dengan santainya membuang sampah ke jalan dari balik jendela. Apakah ketika Anda bisa memesan makanan termahal dari koki-koki hebat, namun tidak semua makanan itu Anda habiskan. Jangan-jangan Anda hanya pamer bisa membuang makanan mahal tanpa perlu merasa iba. Atau apakah Anda bisa berjelajah ke penjuru kota, ke berbagai negara. “Jepret” di tempat yang memang Anda sukai. Kemudian Anda upload untuk jadi foto profile dan di-share ke beberapa teman, biar mereka tahu bahwa orang sukses itu bisa ke kota ini dan kota itu.”
Mendadak saya tersentak, meraih mimpi bukan hanya membutuhkan periapan jasmani semata, membutuhkan persiapan rohani juga perlu dipikirkan. Jika tidak, bisa membuat bangkrut. Yah, bisa-bisa kita malah disebut-sebut memiliki mental miskin. Bukankah jiwa yang sehat itu diperlukan untuk mengontrol yang raga. Karena kalau tidak, raga akan melakukan aktivitas yang benar-benar tidak terarah, akibatnya bisa membuat kita mendadak bangkrut. Dan jiwa yang bangkrut adalah hal lumrah, kemudian menjadi sebuah kebiasaan. Hei jangan-jangan kebiasaan ini menjadi budaya yang mengakar di masyarakat. (Hmm, layak dijadikan bahan penelitian nih he-he-he…)
Tapi yang membuat saya sedih justru orang lain malah bisanya menertawakan, mencibir kekonyolan itu, bahkan segelintir menjadikannya sebagai bahan obrolan.
Yah, meraih mimpi itu seperti masuk ke medan perang melawan musuh bernama diri sendiri. Maka persiapan mental itu sangat diperlukan. Supaya kita tidak tertipu menjadi sukses dengan menjadi orang kaya, punya rumah gede, punya mobil mewah, punya handphone merek ternama, sepatu kulit yang membuat sesiapa mata memandang akan terkesiap dan lain sebagainya.
Menjadi sukses bukan waktunya melampiaskan dendam masa lalu karena tidak memiliki apa-apa. Balas dendam karena pernah dipandang sebelah mata oleh yang lebih dulu hebat atau yang nasibnya dari dulu memang kaya raya. Persiapan mental itu diperlukan saat mengubah cara hidup, dari yang lama menjadi manusia kaya, dan menghadapi resiko setelah perubahan itu.
So, kaya dan sukses bukanlah soal situasi keuangannya, tetapi nilai yang ada dalam kondisi itu. Bukankah sebuah peribahasa mengajarkan, “Padi akan merunduk dan semakin merunduk kalau makin berisi?” Jadi sekaya atau sesukses apapun kita harusnya makin merunduk. Bukan tegak sombong dan angkuh. Karena hidup itu baru bermakna kalau kekayaan itu bisa membuat yang kaya serta orang lain yang melihatnya senang dengan prestasi Anda, juga termotivasi untuk bisa kaya.
Persiapan jiwa juga berguna untuk lebih bersyukur. Coba deh kita merenung sejenak, dari mana capaian prestasi Anda itu datang? Keberlimpahan hidup Anda itu karena kerja keras dan memang otak Anda encer, atau karena ada elemen lain yang ikut berperan di dalamnya?
Kalau tiba-tiba Anda bisa berubah sukses dan kaya, Anda juga bisa dong berubah mendadak bangkrut. Bukan saya mendoakan, yah setidaknya Anda sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari.
***
27/4/2012
Tulian ini bisa dilihat di
http://ikhwanpras.blogspot.com/
keep tawadhu, free paestine, lho? hihihi
Kakek kedua tidak mau kalah, “Dulu anakku paling lemah fisiknya. Sering sakit-sakitan. Tapi sekarang setelah dewasa ia menjadi kapolri.”
Kakek ketiga pun juga tidak mau kalah. Sembari menyungging senyum, menyepelekan prestasi dari kedua anak kakek tadi, ia bercerita. “Anakku dulu memang bandel. Suka mencuri mangga, menjahili anak perempuan, dan berkelahi. Tapi sekarang sudah 15 tahun menjadi buron, tidak ada satu pun polisi yang mampu menangkapnya.”
He-he-he… sudah dulu aah ketawanya. Yah, gara-gara cerita di atas saya harus berkaca lagi nih sama cita-cita saya.
Setidaknya sudah dua kali saya merevisi peta hidup. Pertama, pada pertengahan 2008, saat saya masih imut-imutnya mejadi mahasiswa he-he-he. Kedua, awal 2010 setelah saya dipaksa-paksa oleh Ari Hadipurnama (teman terganteng saya) ikutan motivation discussion di pondok keajaiban. Banyak juga yang saya revisi, mengingat ada beberapa yang tidak relevan dengan kondisi saya kala itu.
Alhamdulillah, dari sekian rancangan mimpi ada beberapa yang terwujud. Seperti memiliki motor sendiri (pssst, padahal dibeliin sama ortu loh) tulisan dimuat di media massa, dan hafal beberapa surat. Tapi ada satu rancangan mimpi yang membuat kedua alis saya beradu, dan sudah dua kali saya revisi, sampai saat ini belum juga saya gerakkan. Apalagi deadline-nya tahun ini, yaitu punya rumah, menikah, dan punya kendaraan roda empat.
Namun, tiba-tiba ada sebuah pertanyaan yang entah dari mana membuat saya pusing tujuh keliling, “Setelah itu semuanya Anda miliki, lantas selanjutnya Anda mau apa?”
“Apakah ketika Anda membeli mobil mewah yang, memang diduduki segelintir orang, tapi nyatanya pengguna mobil termewah itu, dengan santainya membuang sampah ke jalan dari balik jendela. Apakah ketika Anda bisa memesan makanan termahal dari koki-koki hebat, namun tidak semua makanan itu Anda habiskan. Jangan-jangan Anda hanya pamer bisa membuang makanan mahal tanpa perlu merasa iba. Atau apakah Anda bisa berjelajah ke penjuru kota, ke berbagai negara. “Jepret” di tempat yang memang Anda sukai. Kemudian Anda upload untuk jadi foto profile dan di-share ke beberapa teman, biar mereka tahu bahwa orang sukses itu bisa ke kota ini dan kota itu.”
Mendadak saya tersentak, meraih mimpi bukan hanya membutuhkan periapan jasmani semata, membutuhkan persiapan rohani juga perlu dipikirkan. Jika tidak, bisa membuat bangkrut. Yah, bisa-bisa kita malah disebut-sebut memiliki mental miskin. Bukankah jiwa yang sehat itu diperlukan untuk mengontrol yang raga. Karena kalau tidak, raga akan melakukan aktivitas yang benar-benar tidak terarah, akibatnya bisa membuat kita mendadak bangkrut. Dan jiwa yang bangkrut adalah hal lumrah, kemudian menjadi sebuah kebiasaan. Hei jangan-jangan kebiasaan ini menjadi budaya yang mengakar di masyarakat. (Hmm, layak dijadikan bahan penelitian nih he-he-he…)
Tapi yang membuat saya sedih justru orang lain malah bisanya menertawakan, mencibir kekonyolan itu, bahkan segelintir menjadikannya sebagai bahan obrolan.
Yah, meraih mimpi itu seperti masuk ke medan perang melawan musuh bernama diri sendiri. Maka persiapan mental itu sangat diperlukan. Supaya kita tidak tertipu menjadi sukses dengan menjadi orang kaya, punya rumah gede, punya mobil mewah, punya handphone merek ternama, sepatu kulit yang membuat sesiapa mata memandang akan terkesiap dan lain sebagainya.
Menjadi sukses bukan waktunya melampiaskan dendam masa lalu karena tidak memiliki apa-apa. Balas dendam karena pernah dipandang sebelah mata oleh yang lebih dulu hebat atau yang nasibnya dari dulu memang kaya raya. Persiapan mental itu diperlukan saat mengubah cara hidup, dari yang lama menjadi manusia kaya, dan menghadapi resiko setelah perubahan itu.
So, kaya dan sukses bukanlah soal situasi keuangannya, tetapi nilai yang ada dalam kondisi itu. Bukankah sebuah peribahasa mengajarkan, “Padi akan merunduk dan semakin merunduk kalau makin berisi?” Jadi sekaya atau sesukses apapun kita harusnya makin merunduk. Bukan tegak sombong dan angkuh. Karena hidup itu baru bermakna kalau kekayaan itu bisa membuat yang kaya serta orang lain yang melihatnya senang dengan prestasi Anda, juga termotivasi untuk bisa kaya.
Persiapan jiwa juga berguna untuk lebih bersyukur. Coba deh kita merenung sejenak, dari mana capaian prestasi Anda itu datang? Keberlimpahan hidup Anda itu karena kerja keras dan memang otak Anda encer, atau karena ada elemen lain yang ikut berperan di dalamnya?
Kalau tiba-tiba Anda bisa berubah sukses dan kaya, Anda juga bisa dong berubah mendadak bangkrut. Bukan saya mendoakan, yah setidaknya Anda sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari.
***
27/4/2012
Tulian ini bisa dilihat di
http://ikhwanpras.blogspot.com/
keep tawadhu, free paestine, lho? hihihi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar